Di tengah kemajuannya perkembangan teknologi, media sosial seperti Instagram dan TikTok telah menjadi bagian penting kehidupan siswa SMA kelas XII. Remaja kini tumbuh di lingkungan digital yang tidak pernah dialami generasi sebelumnya. Seperti yang disampaikan oleh Nur Maghfirah Aesthetika MMedKom, pakar media sosial dari Universitas Muhammadiyah Sidoarjo (Umsida):
“Kalau generasi milenial masih cenderung minim sekali menggunakan teknologi, saat itu media sosial juga belum ada. Hal ini berbeda dengan gen Z yang sejak lahir sudah dimanjakan dengan kehadiran teknologi.”
Pernyataan tersebut menggambarkan bahwa siswa masa kini memiliki akses luas terhadap informasi dan hiburan digital dan menghadapi tantangan etika yang lebih kompleks. Berdasarkan wawancara dengan beberapa siswa, terlihat bahwa penggunaan media sosial mencakup berbagai tujuan, mulai dari hiburan hingga pencarian informasi.
Jenis konten yang dikonsumsi para siswa pun beragam. Kenzo dan Nicholas menyukai konten game dan lawakan, Felicia mengakses hiburan seperti drama dan makanan, sementara Mario lebih tertarik pada infografis, dan Andrew menikmati konten bola. Keragaman ini menunjukkan bahwa media sosial menjadi ruang besar untuk mengeksplorasi minat. Akan tetapi, menurut Pew Research Center, media sosial kini hampir tidak bisa dipisahkan dari kehidupan remaja. Dari sudut pandang saya, keragaman ini bukan hanya mencerminkan preferensi individu, tetapi juga menegaskan bahwa remaja membutuhkan pendampingan digital agar mereka tidak hanya menjadi konsumen pasif, melainkan mampu memahami dampak dari setiap konten yang mereka pilih. Seperti dijelaskan oleh dr. Rizal Fadli (2023):
“Media sosial dapat membantu remaja mengembangkan keterampilan komunikasi, berteman, mengejar minat, dan berbagi ide.”
Paparan konten yang terlalu bebas tetap berpotensi menimbulkan dampak negatif apabila tidak diimbangi etika digital. Salah satu risiko terbesar adalah kerusakan reputasi. Unggahan yang tidak sopan atau terlalu personal dapat meninggalkan kesan buruk dan mempengaruhi masa depan. Hal ini juga dipahami para siswa. Nicholas menilai bahwa satu unggahan impulsif saja dapat merusak karier, sementara Felicia mengingatkan bahwa jejak digital bersifat permanen dan tidak dapat sepenuhnya dihapus. Temuan ini sejalan dengan pendapat para ahli yang menegaskan bahwa rekam jejak digital kini menjadi faktor penting dalam seleksi pendidikan dan pekerjaan.
Media sosial membawa dampak psikologis yang tidak ringan. Penelitian Zahra (2022) menunjukkan bahwa paparan konten kekerasan di Instagram dapat meningkatkan rasa takut pada siswa. Penggunaan yang berlebihan bahkan turut mendorong meningkatnya kasus perundungan siber, yang dalam beberapa situasi bisa berlanjut menjadi konflik fisik. Penelitian Sugiharti (2023) memperkuat temuan tersebut dengan menunjukkan bahwa media sosial kini ikut membentuk budaya kekerasan di kalangan remaja melalui provokasi dan pertikaian daring. Kekhawatiran ini juga dirasakan oleh beberapa siswa seperti Kenzo dan Andrew, yang menilai bahwa komentar kasar dan akun anonim dapat mengganggu kenyamanan dan kesehatan mental mereka.
Tidak hanya berdampak pada reputasi, penggunaan media sosial juga memiliki dua sisi yang mempengaruhi hubungan sosial dan kesehatan mental. Menurut Nurul Fatmawati, Pelaksana Seksi Hukum dan Informasi KPKNL Semarang:
“Dampak positif dari media sosial adalah memudahkan kita berinteraksi dengan banyak orang, memperluas pergaulan, mengekspresikan diri, serta penyebaran informasi yang cepat dan murah.”
Beliau juga menegaskan bahwa media sosial memiliki sejumlah dampak negatif, antara lain menjauhkan individu yang sebelumnya dekat, menurunnya interaksi tatap muka, meningkatnya potensi kecanduan internet, munculnya konflik, timbulnya masalah privasi, serta kerentanan terhadap pengaruh buruk di lingkungan digital. Pandangan tersebut terbukti relevan dengan pengalaman para siswa. Beberapa mengaku menghindari oversharing demi menjaga privasi, seperti Mario dan Nicholas. Sementara Andrew percaya bahwa kebebasan berekspresi tetap harus dibatasi agar tidak merugikan diri sendiri. Pandangan ini menunjukkan bahwa siswa mulai menyadari pentingnya menjaga batasan digital.
Penggunaan media sosial tidak hanya berdampak pada perilaku, tetapi juga pada kesehatan mental. Menurut National Institute of Mental Health, penggunaan media sosial secara intens dapat meningkatkan risiko gangguan mental pada remaja usia 18–25 tahun. dr. Rizal Fadli menambahkan:
“Di sisi lain, media sosial memiliki dampak negatif pada remaja termasuk risiko penyakit mental.”
Hasil wawancara dengan siswa SMA kelas XII yang dipadukan dengan pandangan para ahli menunjukkan bahwa etika digital menjadi kebutuhan penting di tengah pesatnya perkembangan teknologi. Remaja menghadapi arus konten yang sangat luas, sehingga mereka dituntut untuk mampu menggunakan media sosial secara bijaksana, menjaga batasan privasi, memahami konsekuensi unggahan, serta tetap memperhatikan kesehatan mental mereka. Dengan pemahaman etika digital yang kuat, generasi Z berpotensi menjadi pengguna media sosial yang tidak hanya kreatif dan aktif, tetapi juga bertanggung jawab dan mampu berpikir kritis dalam menghadapi dinamika ruang digital saat ini. Secara garis besar, solusi yang dapat diterapkan meliputi penguatan literasi digital di sekolah, peningkatan pemahaman siswa mengenai privasi dan keamanan akun, serta pendampingan aktif dari orang tua dan guru dalam penggunaan media sosial. Selain itu, diperlukan pembiasaan kontrol diri agar remaja lebih selektif dalam memilih konten dan lebih bijak dalam membangun citra diri di dunia digital.